Di sebuah ruang ganti tim nasional Bahrain yang megah, lima belas pemain berkumpul. Semuanya duduk melingkar, wajah-wajah mereka tegang seperti habis mendengar kabar buruk. Kapten tim, Ebrahim Lutfalla, mondar-mandir sambil menggigit kukunya. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar bunyi kipas angin yang berputar malas.
“Kenapa sih kita harus main di Jakarta?” keluh Abdulla Alkhalasi sambil memegang kakinya, seakan-akan sudah merasa ngilu hanya dengan membayangkan lapangan di Stadion Gelora Bung Karno.
“Aku dengar stadionnya besar banget. Penontonnya ribuan, dan mereka bakal teriak sepanjang pertandingan!” tambah Vincent Emmanuel sambil menelan ludah. “Kamu tahu kan suara teriakan bisa bikin jantung copot? Apa kita punya jaminan jantung enggak copot?”
Waleed Alhayam yang duduk di sudut ruangan terlihat lebih pucat dari biasanya. “Aku baca di internet, kalau mereka enggak suka kita, penonton bisa nge-lempar botol air. Dan botolnya bekas! Bayangin kuman-kumannya!”
Amine Benaddi memukul meja dengan telapak tangan. “Aku udah bilang ke manajer, kita enggak usah main di sana! Mereka punya suporter yang galak, stadion besar yang bikin pusing, dan jangan lupa... hujan tiba-tiba!”
Ali Madan yang paling pendiam di antara mereka tiba-tiba angkat bicara, “Hujan? Kamu takut hujan?”
Amine mengangguk cepat. “Ya, hujan deras itu bisa bikin kita terpeleset di lapangan, lalu kita jatuh, kepalanya kebentur, dan... amnesia!”
Seluruh ruangan terdiam sejenak, lalu Mohamed Marhoon memecah keheningan. “Amnesia? Serius?”
“Aku nonton film!” Amine menjawab cepat, tanpa ragu sedikit pun.
Komail Alaswad, si gelandang serang, mengangkat tangan. “Ada yang denger soal bakso di sana? Aku takut salah makan. Bisa-bisa kita keracunan! Terus... perut kita mules di tengah pertandingan! Bayangkan, mules pas lagi lari! Apa kamu mau itu terjadi?”
Mahdi Abdul Jabar Hasan, si penjaga gawang, tiba-tiba berdiri. “Dengar ya, aku setuju kita perlu pindah tempat. Bukannya takut, tapi di Indonesia... burung kakatua itu kan banyak. Kalau terbang masuk ke lapangan terus hinggap di kepalaku pas aku lagi jaga gawang, habislah kita!”
Satu per satu, para pemain mulai mengangguk setuju. Ketakutan mereka mulai mencampur aduk antara yang masuk akal dan tidak. Abbas Fadhel Alasfoor melirik Ebrahim, sang kapten, dengan tatapan penuh harap. “Kapten, kamu harus lakukan sesuatu! Kita enggak bisa main di sana!”
Ebrahim, yang selama ini hanya diam, menghela napas panjang. “Aku sudah kirim surat ke FIFA dan AFC. Aku bilang, stadion GBK itu terlalu besar, terlalu bising, terlalu... Indonesia.”
“Terus, apa jawab mereka?” tanya Ali Haram.
“Katanya mereka akan mempertimbangkan, tapi kecil kemungkinan mereka mau ganti venue.”
“Lalu... kita gimana?” tanya Ali Madan dengan suara gemetar.
Ebrahim tersenyum kecut. “Kita tunggu saja. Kalau beruntung, mungkin hujan deras, banjir, kakatua berterbangan, dan pertandingan batal!”
Semua pemain tertawa, meski suara tawa mereka lebih terdengar seperti orang yang pasrah. Tepat saat itu, manajer tim masuk ke ruang ganti. “Oke, anak-anak. Semua sudah siap. Besok pagi kita terbang ke Jakarta.”
Seluruh ruangan mendadak senyap, wajah-wajah pemain berubah seperti melihat hantu. Ebrahim menoleh ke manajer dengan lirikan penuh ketakutan. “Apa kita bisa... ya tahu kan... batal?”
Manajer tersenyum lebar. “Enggak bisa, Kapten. Pertandingan tetap jalan. Kalian siap-siap, ya!”
Seketika, suasana ruangan dipenuhi gemetar dan helaan napas panjang. Waleed menoleh ke Amine. “Kamu yakin soal amnesia karena hujan?”
Amine mengangguk mantap. "Kalau kita amnesia, mungkin kita enggak ingat pernah main di Indonesia. Itu kan bagus?"
Abdulla Alkhalasi tiba-tiba menepuk bahu Ebrahim dengan gemetar. “Kapten, aku ada ide. Bagaimana kalau kita pura-pura kena flu? Atau, atau... tiba-tiba alergi udara Jakarta?”
Ebrahim menggelengkan kepala. “Tidak, kita harus hadapi ini, kawan. Kita bisa menang. Kita sudah sering menang... di tempat lain.”
Semua pemain menatap lantai dengan muram. Mereka tahu, di depan mereka bukan hanya pertandingan sepakbola biasa. Ini lebih dari itu. Ini adalah... survival.
*Ketua Satupena Kalimantan Barat
2.27K
132