Berhenti sejenak, rakyat Indonesia. Tundukkan kepala. Tarik napas dalam-dalam. Kita baru saja menyaksikan mukjizat ekonomi abad ini, makan siang bergizi hanya Rp10.000 per porsi.
Ini bukan angka sembarangan. Ini adalah perwujudan dari visi seorang pemimpin yang paham betul cara mengolah anggaran negara dan rumus kuliner rakyat. Rp10.000, bukan sekadar nominal, tapi simbol. Simbol dari keberanian melawan hukum ekonomi, logika akal sehat, bahkan gravitasi.
Mari kita eksplorasi, apa yang bisa didapatkan dengan Rp10.000 ini. Nasi? Tentu saja. Kalau beruntung, bahkan mungkin diberi ekstra kerupuk. Lauk? Ada! Tahu atau tempe, tergantung hari dan restu pemilik warung. Sayur? Ah, jangan berharap terlalu banyak. Tapi ingat, sisa daun kangkung yang layu pun masih mengandung klorofil.
"Kami ingin Rp15.000," katanya dengan nada penuh keikhlasan. Tapi hati seorang pemimpin besar tahu kapan harus memberi pelajaran pada rakyatnya. "Rp10.000 cukup!" Itu bukan pengurangan. Itu adalah seni. Pengajaran bahwa hidup hemat adalah pilar kebangsaan. Lalu ada subsidi silang. Sebuah konsep revolusioner! Di Jawa, warteg akan menghemat bumbu, lalu kelebihannya dikirim ke Papua. Warteg lintas pulau! Ini seperti ASEAN Free Trade Agreement, tapi versinya lauk-pauk.
Kita perlu berterima kasih pada warung makan yang dengan heroiknya mendukung kebijakan ini. Lihatlah Bu Yani di belakang Polres Jakarta Utara. Dengan senyum tabah, ia menyajikan nasi, gorengan, dan mungkin sedikit bumbu harapan. "Rp7.500? Bisa, asal hanya nasi dan doa," katanya. Luar biasa.
Jangan lupa, Rp10.000 ini membuka peluang baru bagi inovasi kuliner bangsa. Mi instan tanpa bumbu? Tempe orek tanpa tempe? Ini adalah cita rasa futuristik yang hanya bisa dirasakan di Indonesia.
Bukan hanya perut rakyat yang disasar, tapi juga jiwa. Rp10.000 ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak diukur dari porsi, melainkan rasa syukur. Siapa yang butuh ayam geprek atau ikan bakar kalau dengan Rp10.000 saja kita sudah bisa memeluk rasa keadilan sosial?
Mari kita bersulang untuk masa depan. Masa depan di mana lauk adalah kemewahan, sayur adalah privilege, dan Rp10.000 adalah anugerah dari langit. Terima kasih, Presiden! Anda telah mengangkat standar kuliner bangsa ke tingkat nirwana. Atau mungkin hanya ke pinggir tebing. Siapa yang peduli? Yang penting kita semua bahagia atau setidaknya kenyang, dalam imajinasi. (Rosadi Jamani)
2.27K
132