Bagian akhir Homo Deus, Yuval Noah Harari. Kisah manusia yang ingin menjadi Tuhan.
Harari memberikan pertanyaan mendalam tentang perspektif eksistensial, Apakah manusia masih memiliki arti di masa depan? Setelah memaparkan perjalanan manusia dari masa lalu hingga prediksi tentang masa depan, Harari mempertanyakan apakah manusia masih bisa memegang peran sentral di dunia yang semakin dikuasai oleh kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan teknologi super canggih.
Harari menjelaskan, salah satu pencapaian terbesar umat manusia adalah kemampuan kita untuk menciptakan teknologi yang luar biasa canggih. Namun, ironi dari pencapaian ini adalah bahwa teknologi tersebut mungkin akan menyingkirkan manusia dari peran sentral dalam kehidupan, baik dalam hal pekerjaan, keputusan, maupun bahkan eksistensi. Teknologi, dalam bentuk AI, algoritma, atau bahkan makhluk hasil rekayasa genetika, mungkin suatu saat bisa mengambil alih tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Ini menimbulkan pertanyaan eksistensial, Jika mesin dapat melakukan semua hal lebih baik daripada kita, apa lagi yang membuat manusia menjadi berarti?
Sepanjang sejarah, manusia merasa menjadi pusat alam semesta. Dalam pandangan dunia humanisme, kita adalah makhluk yang paling penting, karena kita memiliki kesadaran, emosi, dan kemampuan untuk berpikir kritis. Namun, Harari memprediksi bahwa peran sentral ini akan terancam oleh perkembangan teknologi. Ketika kecerdasan buatan mulai bisa berpikir, merasakan, dan mungkin membuat keputusan yang lebih baik daripada manusia, konsep "arti" manusia mungkin akan berubah drastis.
Dia menggambarkan dunia di mana manusia tidak lagi berada di puncak rantai eksistensial. Dalam dunia yang didominasi oleh AI dan algoritma, manusia mungkin akan dipinggirkan, dianggap tidak lagi relevan. Harari bahkan mengajukan pertanyaan tajam, "Jika manusia kehilangan perannya sebagai pengambil keputusan utama, apakah kita masih bisa menganggap diri kita "berarti" di dunia ini?"
Harari juga mengeksplorasi ide bahwa manusia mungkin berevolusi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar manusia. Dengan kemajuan teknologi di bidang bioteknologi dan kecerdasan buatan, kita mungkin bisa menciptakan versi manusia yang lebih unggul, yang dia sebut sebagai Homo Deus, manusia yang menyerupai dewa. Namun, meskipun ini terdengar seperti pencapaian yang luar biasa, pertanyaan besar tetap ada: Apakah manusia masih memiliki arti dalam kondisi ini?
Jika kita berhasil menciptakan "manusia dewa" yang tidak lagi terikat oleh kelemahan biologis kita, tidak sakit, tidak mati, dan bisa membuat keputusan yang sempurna, maka apa lagi arti menjadi manusia biasa? Apakah arti dari eksistensi manusia terletak pada ketidaksempurnaan dan keterbatasannya? Atau, justru dengan mengatasi semua keterbatasan ini, manusia akan menemukan arti yang lebih besar?
Pada akhirnya, Harari tidak memberikan jawaban pasti. Dia meninggalkan pembaca dengan pertanyaan terbuka: Apakah manusia masih memiliki arti? Dia mengajak kita untuk merenungkan apakah kita siap hidup di dunia di mana manusia bukan lagi pusat dari segala hal, di mana kekuasaan dan keputusan mungkin ada di tangan teknologi yang kita ciptakan. Apakah dalam dunia seperti itu, kita masih bisa menemukan arti dalam diri kita sendiri, atau kita akan tersesat dalam ketidakpastian eksistensial?
Harari menyarankan bahwa mungkin saja arti baru akan muncul, seiring dengan evolusi teknologi dan masyarakat. Namun, arti ini mungkin sangat berbeda dari apa yang selama ini kita pahami. Manusia mungkin tidak lagi menjadi "pemeran utama" dalam drama kosmik ini, melainkan hanya salah satu bagian dari sistem yang jauh lebih besar dan kompleks. Dan apakah kita siap menerima kenyataan ini adalah tantangan eksistensial yang besar bagi kita semua.
Dalam Homo Deus, Harari mengajak kita untuk mempertimbangkan bahwa kemajuan teknologi yang pesat mungkin akan membawa kita ke titik di mana manusia tidak lagi memiliki arti yang sama seperti sekarang. Di masa depan yang didominasi oleh kecerdasan buatan dan algoritma, manusia bisa kehilangan peran sentralnya dalam dunia. Namun, meskipun kita mungkin tidak lagi menjadi pusat alam semesta, itu tidak berarti kita tidak bisa menemukan arti baru. Harari menantang kita untuk berpikir ulang tentang apa artinya menjadi manusia di masa depan, dan apakah kita siap untuk menghadapi perubahan besar dalam makna eksistensi kita. (Tamat)
*Ketua Satupena Kalimantan Barat
2.27K
132